Konflik merupakan sebuah kondisi dengan mendasarkan pada dimana kedua belah pihak mengalami sebuah ketegangan, dalam kasus ini terkait dengan bentuk klaim akan hak maupun kebenaran yang dirasa dimiliki oleh satu pihak. Indonesia dan Malaysia merupakan negara tetangga yang memiliki kedekatan secara geografis dan institusional dengan bersama-sama masuk dalam organisasi ASEAN. Akan tetapi, kedekatan-kedekatan yang ada saat ini bukanlah sebuah jaminan antar negara bisa dengan mudah menjalin sebuah kerjasama maupun persahabatan yang erat kaitannya dengan harga diri bangsa dan negara. Konflik Indonesia dan Malaysia kembali menjadi sorotan bagi kedua belah pihak dengan berbagai permasalahan yang sekiranya kita sendiri belum mengerti akan sampai kapan adanya.
Kondisi pemicu munculnya sebuah kisruh antar bangsa ini diantaranya adalah terkait dengan sebuah konflik kepemilikan akan sebuah asset budaya bangsa dengan munculnya iklan pariwisata Malaysia yang menggunakan lagu Rasa Sayange ini di http://www.youtube.com/watch?v=_J-WPdBSS6c atau di website resmi pariwisata Malaysia: http://www.rasasayang.com.my/index.cfm. Orang Maluku maupun Indonesia boleh saja berbangga dengan lagu itu karena meyakini, lagu itu berasal dari Tanah Air. Namun jika ditanyakan kepada warga Malaysia, mereka juga bakal mengatakan hal yang sama. Bahkan negeri jiran itu sudah selangkah lebih maju. Mereka tidak hanya mengklaim lagu itu, tapi juga menjadikan lagu ini sebagai jingle pariwisata mereka (www.wawasandigital.com). Klaim antar kedua negara ini berlanjut berupa kesenian Reog Ponorogo yang telah mengakar pada kebudayaan masyarakat Jawa Timur ini. Pemerintah Malaysia mengklaim bahwa kesenian Reog Ponorogo merupakan kebudayaan asli negaranya. Dalihnya adalahnya seni Barongan yaitu jenis kesenian Melayu harus dilindungi (www.indosiar.com). Permasalahan yang merebak selanjutnya hingga permasalahan Tari Pendet yang kembali dimasukan dalam iklan pariwisata Malaysia yang konon kabarnya merupakan ulah pihak swasta tanpa diketahui pemerintah Malaysia.
Permasalahan ambalat merupakan perseteruan yang selalu mengobarkan nasionalisme dalam negeri Indonesia sendiri. Ambalat sebagai kepulauan yang masuk dalam territorial negara Indonesia kembali diklaim oleh Malaysia. Menurut data Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut, dari Januari hingga April 2009 telah terjadi sembilan kali pelanggaran kedaulatan yang dilakukan militer maupun polisi Malaysia di perairan Kalimantan Timur (http//idsps.org). Menurut catatan yang lain bahwa Malaysia kerap melanggar aturan batas laut dengan Indonesia. Tercatat, sudah lebih dari sepuluh kali sejak tahun 2005 hingga saat ini, kapal milik tentara Malaysia memasuki wilayah Indonesia (www.okezone.com). Pada kondisi yang lainnya adalah permasalahan TKI yang diklaim sebagai pahlawan devisa bagi negara Indonesia ini. Akhir-akhir ini permasalahan TKI kembali mencuat di permukaan dengan berbagai kasus yang ada. Mulai dari kasus penyiksaanTKI, hingga tidak diberikannya hak para TKI.
Analisis Permasalahan:
Konflik Indonesia dengan Malaysia dapat dilakukan sebuah analisis akan esensi permasalahan diantaranya adalah:
1. Konflik klaim kedua negara yang terkait dengan identitas bangsa.
2. Asumsi adanya ketidakadilan akibat tindakan melakukan klaim dan penindasan akan identitas bangsa.
3. Prasangka yang terus berkembang sebagai efek akan rentetan dinamika persoalan akan kedua bangsa.
Beberapa asumsi permasalahan di atas dapat dijelaskan dengan beberapa pendekatan teori psikologi seperti halnya berikut:
1. Nasionalisme
Guetzkow (1957) menyatakan bahwa nasionalisme merupakan karakteristik yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat untuk menunjukkan rasa belongness-nya terhadap komunitas dimana mereka berada. Dasar dari kecintaan terhadap kelompok atau nasional diasumsikan secara luas dan diletakkan pada kebutuhan manusia:” Kelompok pada umumnya diatur untuk bertemu dengan kebutuhan manusia, struktur-struktur dan proses-proses mereka dibentuk oleh kebutuhan ini” (Druckman dalam Christie, Wagner dan Winter, 2001). Pada tingkat bangsa, kelompok memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi, sosial budaya dan politik, termasuk juga keamanan, loyalitas kelompok, dan martabat (Druckman dalam Christie, Wagner dan Winter, 2001).
Mengkaji dari contoh kasus yang telah dijabarkan di atas, maka konflik yang muncul antar kedua negara terkait dengan sikap nasionalisme. Sikap nasionalisme yang muncul merupakan sebagai reaksi atas bentuk klaim akan kekayaan intelektual maupun teritorial bangsa. Dinamika sikap nasionalisme ini tercermin sebagai rasa belongness terhadap negara atas hak sebagai kekayaan bangsa yang terkait dengan martabat bangsa.
1. 2. Social Identity Theory
Pihak-pihak terkait yang terlibat dalam konflik umumnya memperebutkan atau mempertentangkan sumber konflik salah satunya sumber daya. Salah satu teori yang dapat menjelaskan munculnya konflik terkait sumber daya ini berupa teori identitas sosial (Savitri, 2008). Tajfel dan Turner (1972) menjelaskan teori identitas sosial berupa individu cenderung mengembangkan diri dalam kelompok sosial dan menemukan identitas sosial yang positif. Identitas positif ditingkatkan dengan cara membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain untuk membangun nilai positif yang membedakannya dengan kelompok lain. Perbandingan mengandung bias positif jika perbedaan yang ada lebih berpihak pada kelompok sendiri (Turner dan Reynolds dalam Rupert dan Brown, 2003).
Bahan acuan berdasarkan teori identitas sosial pada konflik klaim kebudayaan ini terkait dengan pengembangan sebuah identitas yang positif bagi suatu kelompok. Kebudayaan dan batas wilayah sebagai salah satu sumber daya yang memberikan sebuah nilai positif bagi kelompok yang memilikinya menjadi sebuah sumber konflik. Kebudayaan merupakan kekayaan sebuah bangsa, dengan melakukan sebuah perbandingan antar bangsa terkait dengan berbagai macam kebudayaan yang dimiliki maka klaim akan sebuah kebudayaan akan memberikan sebuah dampak positif bagi kelompoknya sehingga kelompok yang mampu memiliki kebudayaan tersebut dirasa lebih baik baik dari kelompok yang tidak mampu memilikinya.
1. Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural terkait dengan berbagai proses dan perlakuan terhadap orang-orang yang terlibat dalam proses itu (Faturochman, 1999). Keadilan prosedural memiliki tiga syarat, yaitu proses pengambilan keputusan terdiri dari beberapa orang dengan adanya terjadi tukar informasi agar lebih akurat, menghindari sebuah dominasi, dan kesempatan mendapatkan masukan yang sama (Minton dkk dalam Faturochman, 1999).
Konflik klaim kebudayaan dan territorial dirasa adanya perlakuan ketidakadilan prosedural dari salah satu negara. Klaim bentuk kesenian oleh negara lain memunculkan pandangan bahwa adanya pengambilan kebudayaan tanpa adanya sebuah koordinasi antar sebuah negara maupun adanya pandangan dominasi yang dilakukan oleh Malaysia terhadap kebudayaan yang dirasa dimiliki oleh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merasa bahwa klaim Malaysia tidak menguntungkan bagi pihak bangsa Indonesia.
1. Prasangka sosial
Prasangka sosial merupakan sebuah sikap perasaan negatif yang ditujukan pada sebuah kelompok tertentu (Gerungan, 2004). Prasangka ini merupakan sebuah evaluasi yang negatif terhadap outgroup (Walgito, 2003). Blauner (1972) menerangkan bahwa konflik antar kelompok akan memunculkan sebuah perbedaan yang akan mendorong pada permusuhan antar kelompok (Dovidio, Kawakami, Beach dalam Rupert dan Brown, 2003). Kontak yang terjadi antar kelompok dapat mengarahkan pada sebuah prasangka, dimana adanya kesepakatan dalam kelompok lain diluar kelompoknya merupakan target dari prasangka itu (Dovidio, Kawakami, Beach dalam Rupert dan Brown, 2003).
Bentuk prasangka muncul sebagai efek dari perseteruan klaim kebudayaan, territorial dan permasalahan akan penyiksaan TKI yang telah terkondisikan secara berulang-ulang. Konflik akan kesemuanya antar bangsa ini akan mendorong sebuah permusuhan di dalamnya. Munculnya perasaan negatif terhadap kelompok lain di luar kelompoknya sebagai bentuk prasangka karena konflik yang terbentuk, terlihat dari mulai munculnya sebuah atribut negatif bagi kedua kelompok bangsa berupa atribut indon dan malingsia.
Resolusi Konflik:
Bentuk resolusi konflik yang memungkinkan untuk dapat mereduksi konflik antar kedua negara terkait dengan klaim kebudayaan ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan diantaranya adalah:
1. Mengurangi prasangka, yang diasumsikan bahwa prasangka sebagai salah satu pemicu menjadikan sebuah konflik bisa menjadi lebih kompleks atau malah menjadi lebih lebar. Proses mengurangi prasangka dalam hal ini dapat melalui media sebagai sarana informasi bagi kedua bangsa. Media sebagai alat diharapkan mampu memberikan berita yang lebih proporsional dan tidak terlalu berlebihan dalam pemberitaan.
2. Negosiasi, sebagai salah satu jalan diplomasi antar kedua negara dapat dilakukan dengan prosedur yang dilandasi dengan keadilan, kejujuran dan saling menghormati. Pelaksanaan negosiasi dalam hal ini disertai dengan upaya mencari solusi dan hasil yang terbaik dengan melakukan pembuktian-pembuktian terhadap klaim kebudayaan yang dilakukan.
Rabu, 17 November 2010
RI-MALAYSIA
Hubungan bilateral Indonesia-Malaysia terganggu akhir-akhir ini. Penyebabnya beragam mulai soal perbatasan, pengakuan budaya bangsa Indonesia oleh Malaysia serta perlakuan kasar terhadap Tenaga Kerja Indonesia.
Terkait dengan perbatasan, pemerintah Malaysia secara sepihak mengakui blok Ambalat yang ada di Laut Sulawesi sebagai wilayahnya. Jauh sebelumnya kasus Sipandan-Ligitan yang menyebabkan retaknya hubungan diplomatik kedua negara. Konflik ini menyebabkan Indonesia harus kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan. Yang teranyar pengakuan Malaysia atas beberapa budaya Indonesia. Sebut saja reog asal Jawa Timur dan tari pendet asal Bali. Sejarahnya, memang hubungan kedua negara tak pernah mulus.
Dimasa pemerintahan Soekarno, Presiden RI Pertama, hubungan kedua negara ini pernah terguncang, bahkan mencapai klimaks. Ketika itu Presiden RI Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Soekarno saat itu menilai Malaysia sebagai antek kolonialisme, yang mendukung penjajahan di atas muka bumi. Politik luar negeri Indonesia saat itu memang lebih cenderung pro-Timur. Ketika itu Soekarno membenci segala hal yang berbau Barat. Karena kolonialisme adalah produk Barat, maka Indonesia pun menunjukkan ketidaksukaannya ketika Malaysia memilih bergabung dengan Inggris. Sampai saat ini pun, Malaysia, di samping Inggris, Singapura, dan sejumlah negara lainnya, merupakan anggota negara-negara persemakmuran Inggris.
Parahnya, hubungan Indonesia-Malaysia pada tahun 1960-an itu bisa dilihat dari sejumlah slogan politik yang marak saat itu. “Ganyang Malaysia” menjadi suatu kalimat yang populer pada masa itu. Namun, dimasa Soeharto hubungan antara Indonesia-Malaysia menjadi pulih kembali.
Agaknya, sikap klaim sepihak Malaysia terhadap wilayah RI akan mungkin terjadi kembali. Beberapa tokoh politik di Indonesia menilai perilaku Malaysia belakangan ini cenderung melecehkan Indonesia. Sebut saja kasus yang dialami para Tenaga Kerja Indonesia atau TKI. Banyak kasus menyebutkan para TKI mengalami perlakuan yang sangat tidak manusiawi di negeri jiran itu.
Upaya diplomasi harus dinomorsatukan dalam menyelesaikan kemelut yang kini tengah mengganjal hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Deplu dalam hal ini harus berperan aktif melakukan tekanan-tekanan diplomasi kepada Malaysia. Apa gunanya Deplu dan para diplomatnya bila tidak mampu melakukan preassure terhadap Malaysia. Apakah harus menunggu pecahnya perang dengan Malaysia?
Terkait dengan perbatasan, pemerintah Malaysia secara sepihak mengakui blok Ambalat yang ada di Laut Sulawesi sebagai wilayahnya. Jauh sebelumnya kasus Sipandan-Ligitan yang menyebabkan retaknya hubungan diplomatik kedua negara. Konflik ini menyebabkan Indonesia harus kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan. Yang teranyar pengakuan Malaysia atas beberapa budaya Indonesia. Sebut saja reog asal Jawa Timur dan tari pendet asal Bali. Sejarahnya, memang hubungan kedua negara tak pernah mulus.
Dimasa pemerintahan Soekarno, Presiden RI Pertama, hubungan kedua negara ini pernah terguncang, bahkan mencapai klimaks. Ketika itu Presiden RI Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Soekarno saat itu menilai Malaysia sebagai antek kolonialisme, yang mendukung penjajahan di atas muka bumi. Politik luar negeri Indonesia saat itu memang lebih cenderung pro-Timur. Ketika itu Soekarno membenci segala hal yang berbau Barat. Karena kolonialisme adalah produk Barat, maka Indonesia pun menunjukkan ketidaksukaannya ketika Malaysia memilih bergabung dengan Inggris. Sampai saat ini pun, Malaysia, di samping Inggris, Singapura, dan sejumlah negara lainnya, merupakan anggota negara-negara persemakmuran Inggris.
Parahnya, hubungan Indonesia-Malaysia pada tahun 1960-an itu bisa dilihat dari sejumlah slogan politik yang marak saat itu. “Ganyang Malaysia” menjadi suatu kalimat yang populer pada masa itu. Namun, dimasa Soeharto hubungan antara Indonesia-Malaysia menjadi pulih kembali.
Agaknya, sikap klaim sepihak Malaysia terhadap wilayah RI akan mungkin terjadi kembali. Beberapa tokoh politik di Indonesia menilai perilaku Malaysia belakangan ini cenderung melecehkan Indonesia. Sebut saja kasus yang dialami para Tenaga Kerja Indonesia atau TKI. Banyak kasus menyebutkan para TKI mengalami perlakuan yang sangat tidak manusiawi di negeri jiran itu.
Upaya diplomasi harus dinomorsatukan dalam menyelesaikan kemelut yang kini tengah mengganjal hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Deplu dalam hal ini harus berperan aktif melakukan tekanan-tekanan diplomasi kepada Malaysia. Apa gunanya Deplu dan para diplomatnya bila tidak mampu melakukan preassure terhadap Malaysia. Apakah harus menunggu pecahnya perang dengan Malaysia?
Minggu, 14 November 2010
Konflik Israel dan Palestina
Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina.
Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Sejarah
[sunting]
Akhir abad ke-19 - 1920: Asal konflik
Tahun 1897, Kongres Zionis Pertama diselenggarakan.
Deklarasi Balfour 1917
2 November 1917. Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour, yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan ”tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina.
[sunting]
1920-1948: Mandat Britania atas Palestina
David Ben-Gurion memproklamasikan kemerdekaan Israel dari Britania Raya pada 14 Mei 1948 di bawah potret Theodor Herzl
Teks 1922: Mandat Palestina Liga Bangsa-bangsa
Mandat Britania atas Palestina
Revolusi Arab 1936-1939.
Revolusi Arab dipimpin Amin Al-Husseini. Tak kurang dari 5.000 warga Arab terbunuh. Sebagian besar oleh Inggris. Ratusan orang Yahudi juga tewas. Husseini terbang ke Irak, kemudian ke wilayah Jerman, yang ketika itu dalam pemerintahan Nazi.
Rencana Pembagian Wilayah oleh PBB 1947
Deklarasi Pembentukan Negara Israel, 14 Mei 1948.
Secara sepihak Israel mengumumkan diri sebagai negara Yahudi. Inggris hengkang dari Palestina. Mesir, Suriah, Irak, Libanon, Yordania, dan Arab Saudi menabuh genderang perang melawan Israel.
[sunting]
1948-1967
Perang Arab-Israel 1948
Persetujuan Gencatan Senjata 1949
3 April 1949. Israel dan Arab bersepakat melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan wilayah 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan dalam Rencana Pemisahan PBB.
Exodus bangsa Palestina
Perang Suez 1956
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri pada Mei 1964. Tujuannya menghancurkan Israel.
Perang Enam Hari 1967
Resolusi Khartoum
Pendudukan Jalur Gaza oleh Mesir
Pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur oleh Yordan
[sunting]
1967-1993
Perjanjian Nasional Palestina dibuat pada 1968, Palestina secara resmi menuntut pembekuan Israel.
1970 War of Attrition
Perang Yom Kippur 1973
Kesepakatan Damai Mesir-Israel di Camp David 1978
Perang Lebanon 1982
Intifada pertama (1987 - 1991)
Perang Teluk 1990/1
[sunting]
1993-2000: Proses perdamaian Oslo
Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat berjabat tangan ,dipantau oleh Bill Clinton, pada penandatanganan Persetujuan Oslo pada 13 September 1993
Kesepakatan Damai Oslo antara Palestina dan Israel 1993
13 September 1993. Israel dan PLO bersepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pada Agustus 1993, Arafat duduk semeja dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya adalah Kesepakatan Oslo. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa "memerintah" di kedua wilayah itu. Arafat "mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai".
28 September 1995. Implementasi Perjanjian Oslo. Otoritas Palestina segera berdiri.
Kerusuhan terowongan Al-Aqsa
September 1996. Kerusuhan terowongan Al-Aqsa. Israel sengaja membuka terowongan menuju Masjidil Aqsa untuk memikat para turis, yang justru membahayakan fondasi masjid bersejarah itu. Pertempuran berlangsung beberapa hari dan menelan korban jiwa.
18 Januari 1997 Israel bersedia menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat.
Perjanjian Wye River Oktober 1998 berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal.
19 Mei 1999, Pemimpin partai Buruh Ehud Barak terpilih sebagai perdana menteri. Ia berjanji mempercepat proses perdamaian.
[sunting]
2000-sekarang: Intifada al-Aqsa
Peta wilayah Tembok Pemisah Israel.
Intifada al-Aqsa (2000-sekarang)
Maret 2000, Kunjungan pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon ke Masjidil Aqsa memicu kerusuhan. Masjidil Aqsa dianggap sebagai salah satu tempat suci umat Islam. Intifadah gelombang kedua pun dimulai.
KTT Camp David 2000 antara Palestina dan Israel
Maret-April 2002 Israel membangun Tembok Pertahanan di Tepi Barat dan diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina.
Juli 2004 Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya.
9 Januari 2005 Mahmud Abbas, dari Fatah, terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina. Ia menggantikan Yasser Arafat yang wafat pada 11 November 2004
Peta menuju perdamaian
Juni 2005 Mahmud Abbas dan Ariel Sharon bertemu di Yerusalem. Abbas mengulur jadwal pemilu karena khawatir Hamas akan menang.
Agustus 2005 Israel hengkang dari permukiman Gaza dan empat wilayah permukiman di Tepi Barat.
Januari 2006 Hamas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi Fatah selama 40 tahun.
Januari-Juli 2008 Ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas. Dunia menuding Hamas tak berhasil mengendalikan tindak kekerasan. PM Palestina Ismail Haniyeh berkeras pihaknya tak akan tunduk.
November 2008 Hamas batal ikut serta dalam pertemuan unifikasi Palestina yang diadakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel.
Serangan Israel ke Gaza dimulai 26 Desember 2008. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas. Korban dari warga sipil berjatuhan. [1]
Mei 2010 Israel mem-blokede seluruh jalur bantuan menuju palestina
30 Mei 2010 Tentara Israel Menembaki kapal bantuan Mavi Marmara yang membawa ratusan Relawan dan belasan ton bantuan untuk palestina
Situasi saat
Sejak Persetujuan Oslo, Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional Palestina secara resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara. Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:
Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan.
Keamanan Israel.
Keamanan Palestina.
Hakikat masa depan negara Palestina.
Nasib para pengungsi Palestina.
Kebijakan-kebijakan pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu.
Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks Tembok (Ratapan) Barat.
Masalah pengungsi muncul sebagai akibat dari perang Arab-Israel 1948. Masalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur muncul sebagai akibat dari Perang Enam Hari pada 1967.
Selama ini telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan konflik gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya. Pada kedua belah pihak, pada berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll. Ada pula orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang lainnya, walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang telah digunakan demi tujuan-tujuan itu. Lebih jauh, ada pula orang-orang yang merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari kedua belah pihak. Dan menyebutkan "kedua belah" pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: Al-Fatah dan Hamas saling berbeda pendapat tentang tujuan-tujuan bagi bangsa Palestina. Hal yang sama dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel, meskipun misalnya pembicaraannya dibatasi pada partai-partai Yahudi Israel.
Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai sifat konflik ini pasti akan sangat sepihak. Itu berarti, mereka yang menganjurkan perlawanan Palestina dengan kekerasan biasanya membenarkannya sebagai perlawanan yang sah terhadap pendudukan militer oleh bangsa Israel yang tidak sah atas Palestina, yang didukung oleh bantuan militer dan diplomatik oleh A.S. Banyak yang cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai hak yang diberikan oleh persetujuan Jenewa dan Piagam PBB. Sebagian memperluas pandangan ini untuk membenarkan serangan-serangan, yang seringkali dilakukan terhadap warga sipil, di wilayah Israel itu sendiri.
Demikian pula, mereka yang bersimpati dengan aksi militer Israel dan langkah-langkah Israel lainnya dalam menghadapi bangsa Palestina cenderung memandang tindakan-tindakan ini sebagai pembelaan diri yang sah oleh bangsa Israsel dalam melawan kampanye terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas, Jihad Islami, Al Fatah dan lain-lainnya, dan didukung oleh negara-negara lain di wilayah itu dan oleh kebanyakan bangsa Palestina, sekurang-kurangnya oleh warga Palestina yang bukan merupakan warga negara Israel. Banyak yang cenderung percaya bahwa Israel perlu menguasai sebagian atau seluruh wilayah ini demi keamanannya sendiri. Pandangan-pandangan yang sangat berbeda mengenai keabsahan dari tindakan-tindakan dari masing-masing pihak di dalam konflik ini telah menjadi penghalang utama bagi pemecahannya.
Sebuah poster gerakan perdamaian: Bendera Israel dan bendera Palestina dan kata-kata Salaam dalam bahasa Arab dan Shalom dalam bahasa Ibrani. Gambar-gambar serupa telah digunakan oleh sejumlah kelompok yang menganjurkan solusi dua negara dalam konflik ini.
Sebuah usul perdamaian saat ini adalah Peta menuju perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17 September 2002. Israel juga telah menerima peta itu namun dengan 14 "reservasi". Pada saat ini Israel sedang menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh "kehadiran sipil dan militer... yang permanen" di Jalur Gaza (yaitu 21 pemukiman Yahudi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun akan "mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan mempertahankan kontrol eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus melakukan kegiatan militer di wilayah laut dari Jalur Gaza." Pemerintah Israel berpendapat bahwa "akibatnya, tidak akan ada dasar untuk mengklaim bahwa Jalur Gaza adalah wilayah pendudukan," sementara yang lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri itu terjadi, akibat satu-satunya ialah bahwa Israel "akan diizinkan untuk menyelesaikan tembok [artinya, Penghalang Tepi Barat Israel] dan mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini" [1] [2].
Dengan rencana pemisahan diri sepihak, pemerintah Israel menyatakan bahwa rencananya adalah mengizinkan bangsa Palestina untuk membangun sebuah tanah air dengan campur tangan Israel yang minimal, sementara menarik Israel dari situasi yang diyakininya terlalu mahal dan secara strategis tidak layak dipertahankan dalam jangka panjang. Banyak orang Israel, termasuk sejumlah besar anggota partai Likud -- hingga beberapa minggu sebelum 2005 berakhir merupakan partai Sharon -- kuatir bahwa kurangnya kehadiran militer di Jalur Gaza akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan penembakan roket ke kota-kota Israel di sekitar Gaza. Secara khusus muncul keprihatinan terhadap kelompok-kelompok militan Palestina seperti Hamas, Jihad Islami atau Front Rakyat Pembebasan Palestina akan muncul dari kevakuman kekuasaan apabila Israel memisahkan diri dari Gaza.
Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Sejarah
[sunting]
Akhir abad ke-19 - 1920: Asal konflik
Tahun 1897, Kongres Zionis Pertama diselenggarakan.
Deklarasi Balfour 1917
2 November 1917. Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour, yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan ”tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina.
[sunting]
1920-1948: Mandat Britania atas Palestina
David Ben-Gurion memproklamasikan kemerdekaan Israel dari Britania Raya pada 14 Mei 1948 di bawah potret Theodor Herzl
Teks 1922: Mandat Palestina Liga Bangsa-bangsa
Mandat Britania atas Palestina
Revolusi Arab 1936-1939.
Revolusi Arab dipimpin Amin Al-Husseini. Tak kurang dari 5.000 warga Arab terbunuh. Sebagian besar oleh Inggris. Ratusan orang Yahudi juga tewas. Husseini terbang ke Irak, kemudian ke wilayah Jerman, yang ketika itu dalam pemerintahan Nazi.
Rencana Pembagian Wilayah oleh PBB 1947
Deklarasi Pembentukan Negara Israel, 14 Mei 1948.
Secara sepihak Israel mengumumkan diri sebagai negara Yahudi. Inggris hengkang dari Palestina. Mesir, Suriah, Irak, Libanon, Yordania, dan Arab Saudi menabuh genderang perang melawan Israel.
[sunting]
1948-1967
Perang Arab-Israel 1948
Persetujuan Gencatan Senjata 1949
3 April 1949. Israel dan Arab bersepakat melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan wilayah 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan dalam Rencana Pemisahan PBB.
Exodus bangsa Palestina
Perang Suez 1956
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri pada Mei 1964. Tujuannya menghancurkan Israel.
Perang Enam Hari 1967
Resolusi Khartoum
Pendudukan Jalur Gaza oleh Mesir
Pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur oleh Yordan
[sunting]
1967-1993
Perjanjian Nasional Palestina dibuat pada 1968, Palestina secara resmi menuntut pembekuan Israel.
1970 War of Attrition
Perang Yom Kippur 1973
Kesepakatan Damai Mesir-Israel di Camp David 1978
Perang Lebanon 1982
Intifada pertama (1987 - 1991)
Perang Teluk 1990/1
[sunting]
1993-2000: Proses perdamaian Oslo
Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat berjabat tangan ,dipantau oleh Bill Clinton, pada penandatanganan Persetujuan Oslo pada 13 September 1993
Kesepakatan Damai Oslo antara Palestina dan Israel 1993
13 September 1993. Israel dan PLO bersepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pada Agustus 1993, Arafat duduk semeja dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya adalah Kesepakatan Oslo. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa "memerintah" di kedua wilayah itu. Arafat "mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai".
28 September 1995. Implementasi Perjanjian Oslo. Otoritas Palestina segera berdiri.
Kerusuhan terowongan Al-Aqsa
September 1996. Kerusuhan terowongan Al-Aqsa. Israel sengaja membuka terowongan menuju Masjidil Aqsa untuk memikat para turis, yang justru membahayakan fondasi masjid bersejarah itu. Pertempuran berlangsung beberapa hari dan menelan korban jiwa.
18 Januari 1997 Israel bersedia menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat.
Perjanjian Wye River Oktober 1998 berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal.
19 Mei 1999, Pemimpin partai Buruh Ehud Barak terpilih sebagai perdana menteri. Ia berjanji mempercepat proses perdamaian.
[sunting]
2000-sekarang: Intifada al-Aqsa
Peta wilayah Tembok Pemisah Israel.
Intifada al-Aqsa (2000-sekarang)
Maret 2000, Kunjungan pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon ke Masjidil Aqsa memicu kerusuhan. Masjidil Aqsa dianggap sebagai salah satu tempat suci umat Islam. Intifadah gelombang kedua pun dimulai.
KTT Camp David 2000 antara Palestina dan Israel
Maret-April 2002 Israel membangun Tembok Pertahanan di Tepi Barat dan diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina.
Juli 2004 Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya.
9 Januari 2005 Mahmud Abbas, dari Fatah, terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina. Ia menggantikan Yasser Arafat yang wafat pada 11 November 2004
Peta menuju perdamaian
Juni 2005 Mahmud Abbas dan Ariel Sharon bertemu di Yerusalem. Abbas mengulur jadwal pemilu karena khawatir Hamas akan menang.
Agustus 2005 Israel hengkang dari permukiman Gaza dan empat wilayah permukiman di Tepi Barat.
Januari 2006 Hamas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi Fatah selama 40 tahun.
Januari-Juli 2008 Ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas. Dunia menuding Hamas tak berhasil mengendalikan tindak kekerasan. PM Palestina Ismail Haniyeh berkeras pihaknya tak akan tunduk.
November 2008 Hamas batal ikut serta dalam pertemuan unifikasi Palestina yang diadakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel.
Serangan Israel ke Gaza dimulai 26 Desember 2008. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas. Korban dari warga sipil berjatuhan. [1]
Mei 2010 Israel mem-blokede seluruh jalur bantuan menuju palestina
30 Mei 2010 Tentara Israel Menembaki kapal bantuan Mavi Marmara yang membawa ratusan Relawan dan belasan ton bantuan untuk palestina
Situasi saat
Sejak Persetujuan Oslo, Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional Palestina secara resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara. Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:
Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan.
Keamanan Israel.
Keamanan Palestina.
Hakikat masa depan negara Palestina.
Nasib para pengungsi Palestina.
Kebijakan-kebijakan pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu.
Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks Tembok (Ratapan) Barat.
Masalah pengungsi muncul sebagai akibat dari perang Arab-Israel 1948. Masalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur muncul sebagai akibat dari Perang Enam Hari pada 1967.
Selama ini telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan konflik gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya. Pada kedua belah pihak, pada berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll. Ada pula orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang lainnya, walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang telah digunakan demi tujuan-tujuan itu. Lebih jauh, ada pula orang-orang yang merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari kedua belah pihak. Dan menyebutkan "kedua belah" pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: Al-Fatah dan Hamas saling berbeda pendapat tentang tujuan-tujuan bagi bangsa Palestina. Hal yang sama dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel, meskipun misalnya pembicaraannya dibatasi pada partai-partai Yahudi Israel.
Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai sifat konflik ini pasti akan sangat sepihak. Itu berarti, mereka yang menganjurkan perlawanan Palestina dengan kekerasan biasanya membenarkannya sebagai perlawanan yang sah terhadap pendudukan militer oleh bangsa Israel yang tidak sah atas Palestina, yang didukung oleh bantuan militer dan diplomatik oleh A.S. Banyak yang cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai hak yang diberikan oleh persetujuan Jenewa dan Piagam PBB. Sebagian memperluas pandangan ini untuk membenarkan serangan-serangan, yang seringkali dilakukan terhadap warga sipil, di wilayah Israel itu sendiri.
Demikian pula, mereka yang bersimpati dengan aksi militer Israel dan langkah-langkah Israel lainnya dalam menghadapi bangsa Palestina cenderung memandang tindakan-tindakan ini sebagai pembelaan diri yang sah oleh bangsa Israsel dalam melawan kampanye terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas, Jihad Islami, Al Fatah dan lain-lainnya, dan didukung oleh negara-negara lain di wilayah itu dan oleh kebanyakan bangsa Palestina, sekurang-kurangnya oleh warga Palestina yang bukan merupakan warga negara Israel. Banyak yang cenderung percaya bahwa Israel perlu menguasai sebagian atau seluruh wilayah ini demi keamanannya sendiri. Pandangan-pandangan yang sangat berbeda mengenai keabsahan dari tindakan-tindakan dari masing-masing pihak di dalam konflik ini telah menjadi penghalang utama bagi pemecahannya.
Sebuah poster gerakan perdamaian: Bendera Israel dan bendera Palestina dan kata-kata Salaam dalam bahasa Arab dan Shalom dalam bahasa Ibrani. Gambar-gambar serupa telah digunakan oleh sejumlah kelompok yang menganjurkan solusi dua negara dalam konflik ini.
Sebuah usul perdamaian saat ini adalah Peta menuju perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17 September 2002. Israel juga telah menerima peta itu namun dengan 14 "reservasi". Pada saat ini Israel sedang menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh "kehadiran sipil dan militer... yang permanen" di Jalur Gaza (yaitu 21 pemukiman Yahudi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun akan "mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan mempertahankan kontrol eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus melakukan kegiatan militer di wilayah laut dari Jalur Gaza." Pemerintah Israel berpendapat bahwa "akibatnya, tidak akan ada dasar untuk mengklaim bahwa Jalur Gaza adalah wilayah pendudukan," sementara yang lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri itu terjadi, akibat satu-satunya ialah bahwa Israel "akan diizinkan untuk menyelesaikan tembok [artinya, Penghalang Tepi Barat Israel] dan mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini" [1] [2].
Dengan rencana pemisahan diri sepihak, pemerintah Israel menyatakan bahwa rencananya adalah mengizinkan bangsa Palestina untuk membangun sebuah tanah air dengan campur tangan Israel yang minimal, sementara menarik Israel dari situasi yang diyakininya terlalu mahal dan secara strategis tidak layak dipertahankan dalam jangka panjang. Banyak orang Israel, termasuk sejumlah besar anggota partai Likud -- hingga beberapa minggu sebelum 2005 berakhir merupakan partai Sharon -- kuatir bahwa kurangnya kehadiran militer di Jalur Gaza akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan penembakan roket ke kota-kota Israel di sekitar Gaza. Secara khusus muncul keprihatinan terhadap kelompok-kelompok militan Palestina seperti Hamas, Jihad Islami atau Front Rakyat Pembebasan Palestina akan muncul dari kevakuman kekuasaan apabila Israel memisahkan diri dari Gaza.
KONFLIK AMBALAT HANYA MENGUNTUNGKAN PENJAJAH
Dalam sepekan ini, selain isu BBM yang masih hangat, yang tidak kalah hangatnya adalah isu Ambalat. Isu ini berkembang setelah pemerintah Malaysia mengklaim kawasan perairan Ambalat sebagai wilayahnya. Klaim ini muncul setelah Malaysia memenangkan putusan Mahkamah Internasional atas sengketa pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002. Secara sepihak, Malaysia telah mengklaim wilayah perairan sepanjang 70 mil dari garis pantai Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah perairannya. Sementara Indonesia menganggap, kewenangan Malaysia itu hanya 12 mil dari garis pantai kedua pulau tersebut. Padahal secara historis, baik Sipadan, Ligitan, maupun Ambalat sebenarnya merupakan wilayah Kesultanan Bulungan, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Kaltim.
Sejak tahun 1979, Malaysia telah mengklaim Blok Ambalat yang terletak di perairan Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau Kalimantan itu sebagai miliknya, lalu memasukkannya ke dalam peta wilayah negaranya. Dengan klaim tersebut, melalui Petronas, Malaysia kemudian memberikan konsesi minyak (production sharing contracts) di Blok Ambalat kepada Shell, perusahaan minyak Inggris-Belanda.
Sebelumnya, kegiatan penambangan migas di lokasi yang disengketakan itu dibagi oleh pemerintah Indonesia menjadi Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Blok Ambalat dikelola kontraktor migas ENI asal Italia sejak tahun 1999, sementara Blok East Ambalat dikelola Unocal Indonesia Ventures Ltd. asal Amerika sejak Desember 2004. Pemerintah Malaysia menyebut Blok Ambalat sebagai ND 6 atau Blok Y, sedangkan blok East Ambalat sebagai ND 7 atau Blok Z.
Pemberian konsesi minyak di perairan tersebut memang lebih dulu dilakukan Indonesia kepada berbagai perusahaan minyak dunia, termasuk Shell, sejak tahun 1960-an; antara lain kepada Total Indonesie untuk Blok Bunyu sejak 1967 yang dilanjutkan dengan konsesi kepada Hadson Bunyu BV pada 1985. Konsesi lainnya diberikan kepada Beyond Petroleum (BP) untuk Blok North East Kalimantan Offshore dan ENI Bukat Ltd. Italia untuk Blok Bukat pada 1988.
Menurut data Ditjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, kawasan ini memang mempunyai kandungan minyak yang kaya. Di wilayah perairan timur Kalimantan itu, kandungan minyaknya diperkirakan mencapai 700 juta hingga satu miliar barel, sementara kandungan gasnya diperkirakan lebih dari 40 triliun kaki kubik (TCF).
Mendudukkan Persoalan Ambalat
Harus didudukkan bahwa Malaysia dan Indonesia adalah sama-sama negeri Islam, karena mayoritas penduduknya adalah Muslim. Sebagai sesama negeri Muslim, kedua negeri ini sesunguhnya merupakan satu tubuh, dan penduduknya adalah bersaudara, sekalipun wilayah mereka, satu sama lain berbeda. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah(Q.s. al-Hujurat: 10)
Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa akar persoalan ini terjadi sebagai akibat dari adanya nation state (negara-bangsa), yang lahir setelah hilangnya Khilafah Islam. Dibumbui dengan doktrin Nasionalisme, maka negara-bangsa tersebut telah berhasil digunakan oleh kaum penjajah untuk mengerat negeri kaum Muslim sehingga menjadi negara-negara kecil dan lemah, di antaranya seperti Malaysia dan Indonesia. Setelah itu, persatuan dan kesatuan mereka terkoyak-koyak. Akhirnya, mereka pun menjadi lemah untuk selama-lamanya, sehingga negara-negara penjajah Kafir dengan mudah menguasai mereka.
Selain itu, perairan di Laut Sulawesi itu jelas merupakan hak milik umum. Sebagai hak milik umum, tentu siapa yang terlebih dahulu menguasainya, maka dialah yang lebih berhak.
Dilihat dari sejarahnya, Ambalat dahulu jelas merupakan wilayah kesultanan Bulungan, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Kaltim, serta kedekatan jarak perairan tersebut dengan Indonesia dibanding dengan Malaysia, maka dalam konteks penguasaan hak milik umum, tentu Indonesialah yang lebih berhak ketimbang Malaysia. Rasulullah saw. bersabda: Mina adalah hak bagi siapa saja yang terlebih dahulu sampai di sana. (H.r. Hakim, Ibn Huzaimah, Ibn Majah, at-Tirmidzi, dan al-Baihaqi)
Artinya, pemerintah Indonesialah yang berhak mengelola kawasan tersebut. Meski begitu, pemerintah Indonesia tetap tidak boleh memberikan konsesi pengelolaannya kepada pihak swasta, baik asing maupun domestik. Karena ini jelas merupakan hak milik umum, bukan milik negara.
Karena kawasan ini bukan hak milik negara, maka negara tidak berhak memberikan konsesi apapun kepada pihak swasta. Karena itu, tindakan pemerintah Indonesia dengan memberikan konsesi kepada ENI dan Unocal, atau tindakan pemerintah Malaysia dengan memberikan konsesi kepada Shell, adalah bentuk pelanggaran terhadap hak milik umum, apapun alasannya. Apalagi jika yang mendapatkan konsesi itu adalah negara penjajah, seperti Inggris, Belanda, Italia, dan Amerika. Siapa yang Diuntungkan?
Dengan demikian, jika persoalan tersebut tidak diletakkan secara proporsional, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik bersenjata antara Malaysia dengan Indonesia, sebagaimana yang dituntut oleh sebagian kalangan yang akhir-akhir ini kian nyaring terdengar di Indonesia. Masalahnya adalah, siapa yang diuntungkan jika akhirnya konflik bersenjata itu benar-benar meletus? Tentu bukan keduanya. Mengapa?
Pertama, secara ekonomi, karena perairan tersebut konsesi migasnya telah diberikan oleh pemerintah masing-masing negara kepada pihak ketiga-yaitu Inggris, Belanda, Italia, dan Amerika-maka kalau pun Malaysia menang 'perang ', maka mereka pun tidak akan mendapatkan apa-apa, selain kompensasi bagi hasil dan pajak. Begitu juga kalau Indonesia yang menang. Malaysia dan Indonesia hanya mendapatkan kepedihan, baik berupa perang sesama saudara maupun luka hingga generasi mendatang.
Kedua, secara politik, jika masing-masing pihak bersikukuh dengan klaimnya, dan tidak ada salah satu pihak yang mengalah, maka bisa jadi kawasan tersebut akan diinternasionalisasi oleh badan dunia, sebagaimana yang pernah hendak dilakukan terhadap al-Quds. Jika demikian, maka baik Indonesia maupun Malaysia akan sama-sama rugi. Lagi-lagi yang diuntungkan tentu negara-negara besar yang mempunyai pengaruh paling kuat pada badan dunia tadi, baik di Mahkamah Internasional, PBB, maupun lembaga-lembaga internasional lainnya.
Ketiga, dari aspek pertahanan dan keamanan, jika konflik bersenjata antara Indonesia dan Malaysia itu sampai pecah, pasti akan menjadi justifikasi (pengesahan) bagi pihak asing, khususnya negara-negara penjajah tadi, supaya mereka bisa melakukan intervensi (campur tangan) di kawasan tersebut. Jika ini terjadi, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit, dan perseteruan tersebut bisa diramalkan akan berlarut-larut. Ini seperti yang dialami oleh Suriah dan Lebanon, Iran dan Irak, atau India dan Pakistan. Padahal, Allah SWT telah melarang kaum Muslim memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai mereka, sebagaimana firman-Nya: Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin. (QS an-Nisa' [4]: 141). Jalan Keluar Bagi Krisis Ambalat
Dengan duduk perkara dan logika di atas, maka krisis Ambalat itu seharusnya diselesaikan dengan cara damai (diplomasi), bukan melalui konfrontasi (konflik bersenjata).
Pertama, secara syar'i, perseteruan akan menyebabkan terjadinya perang saudara, yang melibatkan peperangan antara sesama Muslim. Memulai peperangan antar sesama Muslim jelas diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: Muslim yang satu dengan Muslim yang lain itu haram (saling mengganggu) kehormatan, harta, dan darahnya. (HR at-Tirmidzi)
Karena itu, saat ada sesama Muslim yang berperang, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim yang lain untuk menghentikannya, sebagaimana firman-Nya: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (QS al-Hujurat [49]: 9).
Larangan memulai perang dan perintah menghentikan peperangan antarsesama kaum Muslim menunjukkan haramnya menumpahkan darah di antara sesama mereka. Kedua, secara ekonomi, perseteruan itu juga akan memakan biaya yang sangat mahal, sementara hasilnya belum tentu baik. Pihak Indonesia belum tentu diuntungkan, demikian juga Malaysia; baik secara ekonomis, politis, maupun pertahanan dan keamanan.
Karena itu, penyelesaian melalui jalur diplomasi (perundingan damai)-lah yang paling logis dan rasional, dengan biaya yang lebih murah. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia harus bisa membuktikan kepada pemerintah Malaysia bahwa Indonesialah yang lebih berhak atas wilayah tersebut, baik dari aspek kesejarahan maupun dokumen hukum kelautan. Sebaliknya, Malaysia tidak mempunyai satu pun bukti yang bisa dijadikan sebagai acuan, selain klaim sepihak.
Lebih dari itu, sebagai sesama negeri Muslim, masing-masing pemerintahan kedua negara itu harus menyadari bahwa hukum sesama Muslim bermusuhan jelas diharamkan oleh Islam. Karena itu, apapun bentuknya, tindakan permusuhan tersebut harus dijauhi. Kaum Muslim ---termasuk para tokoh masyarakat, ulama' dan intelektual--- di Indonesia dan Malaysia juga harus bersama-sama mencegah terjadinya perang saudara. Sebab, yang diuntungkan dari perang tersebut bukan umat Islam di kedua negara tersebut, melainkan negara-negara penjajah Kapitalis tadi.Khatimah
Pada akhirnya, lagi-lagi persoalan ini semakin menguatkan keyakinan kita, bahwa akar masalahnya adalah karena negeri-negeri kaum Muslim yang asalnya satu, di bawah naungan bendera Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh itu telah dicabik-cabik oleh penjajah. Inilah yang sebenarnya menjadi masalah utama yang menyebabkan munculnya masalah perbatasan (al-hudûd). Karena itu, masalah teritorial yang dipersengketakan tadi sebenarnya bukan merupakan masalah utama. Masalah utamanya adalah karena umat Islam saat ini tidak lagi hidup dalam satu negara, yaitu Khilafah Islamiyah. Sebaliknya, mereka telah dikotak-kotakkan dalam sekat nation state (negara-bangsa).
Kenyataan ini juga semakin memperteguh keyakinan kita, bahwa Khilafah Islamiyah bukan saja wajib, tetapi juga perlu untuk menjaga persatuan dan kesatuan negeri-negeri kaum Muslim. Jika tidak, umat Islam akan terus-menerus disibukkan dengan riak-riak seperti ini. Sampai kapan? Wallâhu a'lam. []
Sejak tahun 1979, Malaysia telah mengklaim Blok Ambalat yang terletak di perairan Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau Kalimantan itu sebagai miliknya, lalu memasukkannya ke dalam peta wilayah negaranya. Dengan klaim tersebut, melalui Petronas, Malaysia kemudian memberikan konsesi minyak (production sharing contracts) di Blok Ambalat kepada Shell, perusahaan minyak Inggris-Belanda.
Sebelumnya, kegiatan penambangan migas di lokasi yang disengketakan itu dibagi oleh pemerintah Indonesia menjadi Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Blok Ambalat dikelola kontraktor migas ENI asal Italia sejak tahun 1999, sementara Blok East Ambalat dikelola Unocal Indonesia Ventures Ltd. asal Amerika sejak Desember 2004. Pemerintah Malaysia menyebut Blok Ambalat sebagai ND 6 atau Blok Y, sedangkan blok East Ambalat sebagai ND 7 atau Blok Z.
Pemberian konsesi minyak di perairan tersebut memang lebih dulu dilakukan Indonesia kepada berbagai perusahaan minyak dunia, termasuk Shell, sejak tahun 1960-an; antara lain kepada Total Indonesie untuk Blok Bunyu sejak 1967 yang dilanjutkan dengan konsesi kepada Hadson Bunyu BV pada 1985. Konsesi lainnya diberikan kepada Beyond Petroleum (BP) untuk Blok North East Kalimantan Offshore dan ENI Bukat Ltd. Italia untuk Blok Bukat pada 1988.
Menurut data Ditjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, kawasan ini memang mempunyai kandungan minyak yang kaya. Di wilayah perairan timur Kalimantan itu, kandungan minyaknya diperkirakan mencapai 700 juta hingga satu miliar barel, sementara kandungan gasnya diperkirakan lebih dari 40 triliun kaki kubik (TCF).
Mendudukkan Persoalan Ambalat
Harus didudukkan bahwa Malaysia dan Indonesia adalah sama-sama negeri Islam, karena mayoritas penduduknya adalah Muslim. Sebagai sesama negeri Muslim, kedua negeri ini sesunguhnya merupakan satu tubuh, dan penduduknya adalah bersaudara, sekalipun wilayah mereka, satu sama lain berbeda. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah(Q.s. al-Hujurat: 10)
Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa akar persoalan ini terjadi sebagai akibat dari adanya nation state (negara-bangsa), yang lahir setelah hilangnya Khilafah Islam. Dibumbui dengan doktrin Nasionalisme, maka negara-bangsa tersebut telah berhasil digunakan oleh kaum penjajah untuk mengerat negeri kaum Muslim sehingga menjadi negara-negara kecil dan lemah, di antaranya seperti Malaysia dan Indonesia. Setelah itu, persatuan dan kesatuan mereka terkoyak-koyak. Akhirnya, mereka pun menjadi lemah untuk selama-lamanya, sehingga negara-negara penjajah Kafir dengan mudah menguasai mereka.
Selain itu, perairan di Laut Sulawesi itu jelas merupakan hak milik umum. Sebagai hak milik umum, tentu siapa yang terlebih dahulu menguasainya, maka dialah yang lebih berhak.
Dilihat dari sejarahnya, Ambalat dahulu jelas merupakan wilayah kesultanan Bulungan, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Kaltim, serta kedekatan jarak perairan tersebut dengan Indonesia dibanding dengan Malaysia, maka dalam konteks penguasaan hak milik umum, tentu Indonesialah yang lebih berhak ketimbang Malaysia. Rasulullah saw. bersabda: Mina adalah hak bagi siapa saja yang terlebih dahulu sampai di sana. (H.r. Hakim, Ibn Huzaimah, Ibn Majah, at-Tirmidzi, dan al-Baihaqi)
Artinya, pemerintah Indonesialah yang berhak mengelola kawasan tersebut. Meski begitu, pemerintah Indonesia tetap tidak boleh memberikan konsesi pengelolaannya kepada pihak swasta, baik asing maupun domestik. Karena ini jelas merupakan hak milik umum, bukan milik negara.
Karena kawasan ini bukan hak milik negara, maka negara tidak berhak memberikan konsesi apapun kepada pihak swasta. Karena itu, tindakan pemerintah Indonesia dengan memberikan konsesi kepada ENI dan Unocal, atau tindakan pemerintah Malaysia dengan memberikan konsesi kepada Shell, adalah bentuk pelanggaran terhadap hak milik umum, apapun alasannya. Apalagi jika yang mendapatkan konsesi itu adalah negara penjajah, seperti Inggris, Belanda, Italia, dan Amerika. Siapa yang Diuntungkan?
Dengan demikian, jika persoalan tersebut tidak diletakkan secara proporsional, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik bersenjata antara Malaysia dengan Indonesia, sebagaimana yang dituntut oleh sebagian kalangan yang akhir-akhir ini kian nyaring terdengar di Indonesia. Masalahnya adalah, siapa yang diuntungkan jika akhirnya konflik bersenjata itu benar-benar meletus? Tentu bukan keduanya. Mengapa?
Pertama, secara ekonomi, karena perairan tersebut konsesi migasnya telah diberikan oleh pemerintah masing-masing negara kepada pihak ketiga-yaitu Inggris, Belanda, Italia, dan Amerika-maka kalau pun Malaysia menang 'perang ', maka mereka pun tidak akan mendapatkan apa-apa, selain kompensasi bagi hasil dan pajak. Begitu juga kalau Indonesia yang menang. Malaysia dan Indonesia hanya mendapatkan kepedihan, baik berupa perang sesama saudara maupun luka hingga generasi mendatang.
Kedua, secara politik, jika masing-masing pihak bersikukuh dengan klaimnya, dan tidak ada salah satu pihak yang mengalah, maka bisa jadi kawasan tersebut akan diinternasionalisasi oleh badan dunia, sebagaimana yang pernah hendak dilakukan terhadap al-Quds. Jika demikian, maka baik Indonesia maupun Malaysia akan sama-sama rugi. Lagi-lagi yang diuntungkan tentu negara-negara besar yang mempunyai pengaruh paling kuat pada badan dunia tadi, baik di Mahkamah Internasional, PBB, maupun lembaga-lembaga internasional lainnya.
Ketiga, dari aspek pertahanan dan keamanan, jika konflik bersenjata antara Indonesia dan Malaysia itu sampai pecah, pasti akan menjadi justifikasi (pengesahan) bagi pihak asing, khususnya negara-negara penjajah tadi, supaya mereka bisa melakukan intervensi (campur tangan) di kawasan tersebut. Jika ini terjadi, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit, dan perseteruan tersebut bisa diramalkan akan berlarut-larut. Ini seperti yang dialami oleh Suriah dan Lebanon, Iran dan Irak, atau India dan Pakistan. Padahal, Allah SWT telah melarang kaum Muslim memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai mereka, sebagaimana firman-Nya: Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin. (QS an-Nisa' [4]: 141). Jalan Keluar Bagi Krisis Ambalat
Dengan duduk perkara dan logika di atas, maka krisis Ambalat itu seharusnya diselesaikan dengan cara damai (diplomasi), bukan melalui konfrontasi (konflik bersenjata).
Pertama, secara syar'i, perseteruan akan menyebabkan terjadinya perang saudara, yang melibatkan peperangan antara sesama Muslim. Memulai peperangan antar sesama Muslim jelas diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: Muslim yang satu dengan Muslim yang lain itu haram (saling mengganggu) kehormatan, harta, dan darahnya. (HR at-Tirmidzi)
Karena itu, saat ada sesama Muslim yang berperang, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim yang lain untuk menghentikannya, sebagaimana firman-Nya: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (QS al-Hujurat [49]: 9).
Larangan memulai perang dan perintah menghentikan peperangan antarsesama kaum Muslim menunjukkan haramnya menumpahkan darah di antara sesama mereka. Kedua, secara ekonomi, perseteruan itu juga akan memakan biaya yang sangat mahal, sementara hasilnya belum tentu baik. Pihak Indonesia belum tentu diuntungkan, demikian juga Malaysia; baik secara ekonomis, politis, maupun pertahanan dan keamanan.
Karena itu, penyelesaian melalui jalur diplomasi (perundingan damai)-lah yang paling logis dan rasional, dengan biaya yang lebih murah. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia harus bisa membuktikan kepada pemerintah Malaysia bahwa Indonesialah yang lebih berhak atas wilayah tersebut, baik dari aspek kesejarahan maupun dokumen hukum kelautan. Sebaliknya, Malaysia tidak mempunyai satu pun bukti yang bisa dijadikan sebagai acuan, selain klaim sepihak.
Lebih dari itu, sebagai sesama negeri Muslim, masing-masing pemerintahan kedua negara itu harus menyadari bahwa hukum sesama Muslim bermusuhan jelas diharamkan oleh Islam. Karena itu, apapun bentuknya, tindakan permusuhan tersebut harus dijauhi. Kaum Muslim ---termasuk para tokoh masyarakat, ulama' dan intelektual--- di Indonesia dan Malaysia juga harus bersama-sama mencegah terjadinya perang saudara. Sebab, yang diuntungkan dari perang tersebut bukan umat Islam di kedua negara tersebut, melainkan negara-negara penjajah Kapitalis tadi.Khatimah
Pada akhirnya, lagi-lagi persoalan ini semakin menguatkan keyakinan kita, bahwa akar masalahnya adalah karena negeri-negeri kaum Muslim yang asalnya satu, di bawah naungan bendera Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh itu telah dicabik-cabik oleh penjajah. Inilah yang sebenarnya menjadi masalah utama yang menyebabkan munculnya masalah perbatasan (al-hudûd). Karena itu, masalah teritorial yang dipersengketakan tadi sebenarnya bukan merupakan masalah utama. Masalah utamanya adalah karena umat Islam saat ini tidak lagi hidup dalam satu negara, yaitu Khilafah Islamiyah. Sebaliknya, mereka telah dikotak-kotakkan dalam sekat nation state (negara-bangsa).
Kenyataan ini juga semakin memperteguh keyakinan kita, bahwa Khilafah Islamiyah bukan saja wajib, tetapi juga perlu untuk menjaga persatuan dan kesatuan negeri-negeri kaum Muslim. Jika tidak, umat Islam akan terus-menerus disibukkan dengan riak-riak seperti ini. Sampai kapan? Wallâhu a'lam. []
KONFLIK ISLAM MODERN DAN ISLAM TRADISIONAL DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?
Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya “Hambatan Teologis” di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah begaimana memecahkan “hambatan teologis” dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.
LATAR BELAKANG MASALAH
Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di Negeri ini. Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa ditengah masyarakat, meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi ciri khas kedua ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, bukan saja didalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia, ternyata antara Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.
POKOK MASALAH
Keberadaan Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dalam sejarah Indonesia modern memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekedar contoh, Sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski bukan satu-satunya alasan.
TINJAUAN TEORITIS
Penelitian banyak mengemukakan, Muhammadiyah identik organisasi Islam yang mencontoh gerakan misi dan zending barat. Berhubung Muhammadiyah mencontoh gerakan misi dan Zending Barat, maka menurut para pengamat, gerakan-gerakan yang dilakukan merupakan gerakan yang bercorak Barat, seperti mendirikan sekolah, panti asuhan dan rumah sakit (James Peacock, 1981; Mitsuo Nakamura, 1980; Lance Castles, 1982; Alfian, 1984; Mulkhan, 2000; Asy,arie, 1998; Bruinessen, 1994; Hikam, 1999; Pendekatan Hegelian: (1). Lebih menekankan fungsi komplementatif daripada fungsi suplementatif, (2). Menekankan pentingnya kelas menengah.; Pendekatan Alexis de Tocqueville: Menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan pencangkokan civic culture untuk membangun budaya demokratis.
KONFLIK ISLAM MODERN DAN ISLAM TRADISIONAL DI INDONESIA
Dialektika Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia, dapat dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis Islam A,la Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai organisasi Islam. Kompetisi dan konstelasi kedua tradisi Islam ini, sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, tampak dari rivalitas keduanya dalam Masyumi sepanjang tahun 1945-1952 dan di PPP sepanjang tahun 1973-1984, respon terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta respons terhadap rezim Orba. Belum lagi persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan politik. Karena itu, dapat dimengerti bila persaingan ini pada akhirnya juga merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.
Antagonisme politik yang terjadi antara Islam modernis dengan pemerintah yang berlangsung sejak tahun 1960 (ketika Masyumi dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno), membuat kalangan modernis mencoba mencari landasan teologis baru guna berpartisipasi dalam “develomentalisme” Orba. Tahun 1971, dalam Muktamar di Ujung Pandang, Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi terhadap salah satu partai politik manapun. Hal ini hampir bersamaan dengan wacana yang dikembangkan generasi baru intelektual Islam, yang sejak dasawarsa 1970-an berusaha mengembangkan format politik baru yang lebih menekankan aspek substansial. Motivasi kalangan modernis agar bisa terakomodasi dalam proses pembangunan Orba seperti ini menyebabkan mereka mengembangkan civil society dengan pendekatan Hegelian, yang memiliki ciri (1) lebih menekankan fungsi komplementatif dan suplementatif. Dengan cirri seperti ini, sipil society berfungsi melaksanakan sebagian peran-peran negara. (2) Menekankan pentingnya kelas menengah. Tentu saja kelas menengah yang sedikit banyak bergantung kepada state. Karena sebagaimana lazimnya negara dunia ketiga yang sedang berkembang, state memegang peranan penting dalam seluruh sektor kehidupan.
Pendekatan Hegelian seperti diadopsi oleh Muhammadiyah ini, mendapat kritik tajam dari Alexis de Tocqueville. Ini disebabkan, karena dalam pemikiran Hegel, posisi negara dianggap sebagai standar terakhir. Seolah-olah, hanya pada dataran negara sajalah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh, sehingga posisi dominan negara bermakna positif. Dengan demikian civil society akan kehilangan dimensi politik dan tergantung manipulasi dan intervensi negara. Pendekatan Tocquevellian yang diadopsi NU, menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan pencangkokkan civic culture untuk membangun budaya demokratis. Pendekatan Tocquevellian ini digunakan karena sepanjang dua dasawarsa awal Orba, NU tidak memperoleh tempat dalam proses-proses politik. Marginalisasi politik ini, disebabkan karena rezim Orba hanya mengakomodasi kelompok Islam yang mendukung modernisasi, dan itu didapat dari kalangan modernis yang sudah lebih dulu melakukan pembaruan pemikiran politik Islam. Selain itu, tentu saja, akibat rivalitas dengan kalangan modernis yang menjadi kelompok dominan di PPP. Dengan demikian, dapat dimengerti jika sejak muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali khitah 1926, dan mengundurkan diri dari politik praktis, yang secara otomatis menarik dukungan dari PPP.
Dengan motivasi seperti itu, maka sejak akhir dasawarsa 1980-an, aktivis NU banyak diarahkan pada penciptaan free public sphere, tempat dimana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah, dan penguatan LSM. Mereka meyakini, civil society hanya bisa dibangun jika masyarakat memiliki kemandirian dalam arti seutuhnya, serta terhindar dari jaring intervensi dan kooptasi negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati kiprah NU sejak awal dasawarsa 1990-an. Ketika kalangan Islam modernis terakomodasi dlam state (ICMI), Gus Dur mendirikan forum demokrasi, dan aktivitas NU secara umum diarahkan untuk menciptakan ruang publik diluar state dengan banyak bergerak dalam LSM-LSM dan kelompok-kelompok studi. Inilah peran Gus Dur dan NU sebagai kekuatan penyeimbang dan berhadapan vis-à-vis negara. Mereka ini pada awalnya menjadikan Islam modernis yang terakomodasi dalam state sebagai lahan kritik (Hikam:1999). Bagi mereka, modernisme tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber gagasan kemajuan dan dipuja sebagai dewa penyelamat bagi peradaban manusia. Karena modernisme itu sendiri terbukti tidak mampu memenuhi janji-janji kemajuannya. Bahkan, dalam beberapa hal, modernisme meninggalkan banyak petaka.
Kesimpulan
Konflik yang semakin mengental antara Islam modern (Muhammadiyah) dengan Islam tradisional (Nahdatul Umat) dengan puncak klimaksnya ketika K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden RI ke-4, maka emosi politikpun menyusup kedalam gerakan kultural kedua Ormas tersebut. Dimana sebenarnya perbedaan pemikiran kedua ormas itu tidaklah terlalu jauh, karena secara subtantif, kedua aktivis ormas terbesar itu mempunyai titik temu dalam aras mengusung wacana baru yang menyemangati transformasi, inklusivitas, dan progresivitas.
Sejarah membuktikan, perseteruan politik kerapkali meruntuhkan singgasana kultural yang mempunyai komitmen untuk membangun civil society. Hal tersebut dapat dilihat dari retaknya hubungan antara Gus Dur (tokoh NU) dan Amien Rais (Tokoh Muhammadiyah), karena keduanya sedang bertarung dalam domain politik yang implikasinya sangat besar terhadap bangunan kultural yang berkecambah dalam kedua ormas tersebut. Oleh karena itu, harapan besar berada diatas pundak aktivis muda NU dan Muhammadiyah untuk mewujudkan hubungan yang sinergis. Disinilah gerakan kultural dalam kedua ormas tersebut dipertaruhkan.
Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?
Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya “Hambatan Teologis” di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah begaimana memecahkan “hambatan teologis” dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.
LATAR BELAKANG MASALAH
Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di Negeri ini. Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa ditengah masyarakat, meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi ciri khas kedua ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, bukan saja didalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia, ternyata antara Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.
POKOK MASALAH
Keberadaan Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dalam sejarah Indonesia modern memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekedar contoh, Sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski bukan satu-satunya alasan.
TINJAUAN TEORITIS
Penelitian banyak mengemukakan, Muhammadiyah identik organisasi Islam yang mencontoh gerakan misi dan zending barat. Berhubung Muhammadiyah mencontoh gerakan misi dan Zending Barat, maka menurut para pengamat, gerakan-gerakan yang dilakukan merupakan gerakan yang bercorak Barat, seperti mendirikan sekolah, panti asuhan dan rumah sakit (James Peacock, 1981; Mitsuo Nakamura, 1980; Lance Castles, 1982; Alfian, 1984; Mulkhan, 2000; Asy,arie, 1998; Bruinessen, 1994; Hikam, 1999; Pendekatan Hegelian: (1). Lebih menekankan fungsi komplementatif daripada fungsi suplementatif, (2). Menekankan pentingnya kelas menengah.; Pendekatan Alexis de Tocqueville: Menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan pencangkokan civic culture untuk membangun budaya demokratis.
KONFLIK ISLAM MODERN DAN ISLAM TRADISIONAL DI INDONESIA
Dialektika Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia, dapat dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis Islam A,la Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai organisasi Islam. Kompetisi dan konstelasi kedua tradisi Islam ini, sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, tampak dari rivalitas keduanya dalam Masyumi sepanjang tahun 1945-1952 dan di PPP sepanjang tahun 1973-1984, respon terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta respons terhadap rezim Orba. Belum lagi persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan politik. Karena itu, dapat dimengerti bila persaingan ini pada akhirnya juga merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.
Antagonisme politik yang terjadi antara Islam modernis dengan pemerintah yang berlangsung sejak tahun 1960 (ketika Masyumi dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno), membuat kalangan modernis mencoba mencari landasan teologis baru guna berpartisipasi dalam “develomentalisme” Orba. Tahun 1971, dalam Muktamar di Ujung Pandang, Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi terhadap salah satu partai politik manapun. Hal ini hampir bersamaan dengan wacana yang dikembangkan generasi baru intelektual Islam, yang sejak dasawarsa 1970-an berusaha mengembangkan format politik baru yang lebih menekankan aspek substansial. Motivasi kalangan modernis agar bisa terakomodasi dalam proses pembangunan Orba seperti ini menyebabkan mereka mengembangkan civil society dengan pendekatan Hegelian, yang memiliki ciri (1) lebih menekankan fungsi komplementatif dan suplementatif. Dengan cirri seperti ini, sipil society berfungsi melaksanakan sebagian peran-peran negara. (2) Menekankan pentingnya kelas menengah. Tentu saja kelas menengah yang sedikit banyak bergantung kepada state. Karena sebagaimana lazimnya negara dunia ketiga yang sedang berkembang, state memegang peranan penting dalam seluruh sektor kehidupan.
Pendekatan Hegelian seperti diadopsi oleh Muhammadiyah ini, mendapat kritik tajam dari Alexis de Tocqueville. Ini disebabkan, karena dalam pemikiran Hegel, posisi negara dianggap sebagai standar terakhir. Seolah-olah, hanya pada dataran negara sajalah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh, sehingga posisi dominan negara bermakna positif. Dengan demikian civil society akan kehilangan dimensi politik dan tergantung manipulasi dan intervensi negara. Pendekatan Tocquevellian yang diadopsi NU, menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan pencangkokkan civic culture untuk membangun budaya demokratis. Pendekatan Tocquevellian ini digunakan karena sepanjang dua dasawarsa awal Orba, NU tidak memperoleh tempat dalam proses-proses politik. Marginalisasi politik ini, disebabkan karena rezim Orba hanya mengakomodasi kelompok Islam yang mendukung modernisasi, dan itu didapat dari kalangan modernis yang sudah lebih dulu melakukan pembaruan pemikiran politik Islam. Selain itu, tentu saja, akibat rivalitas dengan kalangan modernis yang menjadi kelompok dominan di PPP. Dengan demikian, dapat dimengerti jika sejak muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali khitah 1926, dan mengundurkan diri dari politik praktis, yang secara otomatis menarik dukungan dari PPP.
Dengan motivasi seperti itu, maka sejak akhir dasawarsa 1980-an, aktivis NU banyak diarahkan pada penciptaan free public sphere, tempat dimana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah, dan penguatan LSM. Mereka meyakini, civil society hanya bisa dibangun jika masyarakat memiliki kemandirian dalam arti seutuhnya, serta terhindar dari jaring intervensi dan kooptasi negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati kiprah NU sejak awal dasawarsa 1990-an. Ketika kalangan Islam modernis terakomodasi dlam state (ICMI), Gus Dur mendirikan forum demokrasi, dan aktivitas NU secara umum diarahkan untuk menciptakan ruang publik diluar state dengan banyak bergerak dalam LSM-LSM dan kelompok-kelompok studi. Inilah peran Gus Dur dan NU sebagai kekuatan penyeimbang dan berhadapan vis-à-vis negara. Mereka ini pada awalnya menjadikan Islam modernis yang terakomodasi dalam state sebagai lahan kritik (Hikam:1999). Bagi mereka, modernisme tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber gagasan kemajuan dan dipuja sebagai dewa penyelamat bagi peradaban manusia. Karena modernisme itu sendiri terbukti tidak mampu memenuhi janji-janji kemajuannya. Bahkan, dalam beberapa hal, modernisme meninggalkan banyak petaka.
Kesimpulan
Konflik yang semakin mengental antara Islam modern (Muhammadiyah) dengan Islam tradisional (Nahdatul Umat) dengan puncak klimaksnya ketika K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden RI ke-4, maka emosi politikpun menyusup kedalam gerakan kultural kedua Ormas tersebut. Dimana sebenarnya perbedaan pemikiran kedua ormas itu tidaklah terlalu jauh, karena secara subtantif, kedua aktivis ormas terbesar itu mempunyai titik temu dalam aras mengusung wacana baru yang menyemangati transformasi, inklusivitas, dan progresivitas.
Sejarah membuktikan, perseteruan politik kerapkali meruntuhkan singgasana kultural yang mempunyai komitmen untuk membangun civil society. Hal tersebut dapat dilihat dari retaknya hubungan antara Gus Dur (tokoh NU) dan Amien Rais (Tokoh Muhammadiyah), karena keduanya sedang bertarung dalam domain politik yang implikasinya sangat besar terhadap bangunan kultural yang berkecambah dalam kedua ormas tersebut. Oleh karena itu, harapan besar berada diatas pundak aktivis muda NU dan Muhammadiyah untuk mewujudkan hubungan yang sinergis. Disinilah gerakan kultural dalam kedua ormas tersebut dipertaruhkan.
Langganan:
Postingan (Atom)